Rabu, 16 April 2014

MAKALAH SPI

MAKALAH
REVOLUSI DAN PERJUANGAN BANI ABBASIYAH
DAN
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RUNTUHNYA BANI UMAIYYAH
Di susun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah SPI
Dengan dosen pengampu Drs. Abdul Wahhab M. Pd.I

 



Disusun oleh :
   Muchammad Abdush S.   NIM : 113008


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
JURUSAN TARBIYAH
PRODI  PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2013



PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Maju mundurnya peradaban islam tergantung dari sejauh mana dinamika umat islam itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat, bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayyah dan Abbasiyah. Umayyah dan Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
      Berdiri dan terbentuknya Daulat Bani Abbasiyah tidak bisa terlepas dari Umayyah, hal ini dikarenakan berdiri dan terbentuknya Abbasiyah adalah setelah runtuhnya Umayyah pada tahun 750 M. Dinamakan Dinasti Bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung selama lebih kurang 6 abad (132-656 H/750-1258M).
      Pemerintahan dinasti Abbasiyah berhasil didirikan setelah munculnya berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh keturunan al-Abbas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan dinasti Umayyah di Damaskus. Ketidakberdayaan menghadapi pemberontakan massal yang berkepanjangan menyebabkan tumbangnya dinasti Umayyah pada tahun 750 M/132 H dengan dikalahkannya Khalifah Marwan II.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana Revolusi dan perjuangan Bani Abbasiyah
2.      Apa saja Teori revolusi Bani Abbasiyah
3.      Apa yang menjadi faktor-faktor penyebab runtuhnya Bani Umayyah

C.    Pembahasan
1.        Revolusi dan Perjuangan Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah yang berkuasa lebih kurang 6 abad (132-656 H/750-1258 M), didirikan oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas/Abu Abbas al-Saffah dibantu oleh Abu Muslim AL-Khurasani, seorang jenderal muslim yang berasal dari Khurasan, Persia. Gerakan-gerakan perlawanan untuk kekuasaan Dinasti Bani Umayyah sebenarnya sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan Dinasti Bani Umayyah, hanya saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah, sehingga gerakan-gerakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya secara kuat. Tetapi di masa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerintahan Dinasti Bani Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dari Bani Hasyim melancarkan serangannya.

Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang keluarga Abbas yang menjadikan kota Kufah sebagai pusat kegiatan perlawanan. Gerakan Muhammad bin Ali ini mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu,  juga mendapat dukungan kuat dari kelompok Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh Dinasti Bani Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 H/750 M, Marwan bin Muhammad dapat dikalahkan dan akhirnya meninggal di Fustat, Mesir pada 132 H/750 M. Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.

Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni Pertama dilaksanakan dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Kedua, menggabungkan para pengikut Abu Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis kelompok Mawali.

Propaganda dengan cara menghasut dan menyombongkan diri (membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh Bani Abbas sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat 83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa”.

Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal tahun 743 M, perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai tahun 749 M.
Dari ketiga tokoh propaganda tesebut Abu Muslim Al Khurasani merupakan propagandis yang paling sukses dan terkenal.
1.      Menerapkan politik bersahabat, artinya keturunan Bani Abbas tidak memperlihatkan sikap bermusuhan dengan Bani Umayyah atau siapapun.
2.      Menggunakan nama Bani Hasyim (Ahlul Bait). Hal ini dimaksudkan agar mendapat simpati umat dan dukungan dari kelompok pendukung Ali (Syiah).
3.      Menjadikan Khurasan sebagai pusat kegiatan gerakan Bani Abbas yang dipimpin oleh Abu Muslim Al-Khurasani.
                Strategi ini ternyata berhasil menghimpun kekuatan besar dan dahsyat yang tidak bisa dibendung lagi oleh golongan manapun juga. Dalam perjuangannya untuk mendirikan Dinasti Abbasiyah, para tokoh pendiri Dinasti ini menerapkan cara kepemimpinan yang bersifat kolektif (kolegial leadership),namun tertutup dengan gerakan bawah tanah. Para tokoh pendiri Dinasti Abbasiyah menetapkan tiga kota sebagai pusat kegiatan, yaitu Humimah sebagai pusat perencanaan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis.[1]
Untuk melaksanakan propaganda tersebut, mereka mengangkat 12 orang propagandis terkenal yang tersebar di berbagai daerah, seperti di Khurasan, Kufah, Irak, Mekah dan beberapa tempat strategis lainnya. Di antara isu yang dikembangkan dalam propaganda tersebut adalah masalah keadilan yang selama itu diterapkan oleh pemerintahan pusat Dinasti Bani Umayyah yang bermarkas di Damaskus.
Semua keadaan diatas menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan oleh pemerintahan Dinasti Umayyah. Sekitar awal abad ke-8 (720 M), kebencian terhadap pemerintahan Dinasti Umayyah telah tersebar luas. Kelompok-kelompok yang merasa tidak puas bermunculan. Kelompok-kelompok itu adalah :
1.      Kelompok muslim non-Arab (mawali) yang memprotes kedudukan mereka sebagai warga kelas dua dibawah muslim Arab.
2.      Kelompok Khawarij dan Syi’ah yang menganggap Dinasti Umayyah sebagai perampas khilafah.
3.      Kelompok muslim Arab di Mekah, Madinah, dan Irak yang merasa sakit hati atas status istimewa penduduk Suriah.
4.      Kelompok muslim yang saleh, baik Arab maupun non-Arab yang memandang Dinasti Umayyah telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup Islami.
kelompok tersebut membentuk suatu kelompok gabungan yang dikoordinasi oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari dukungan masyarakat luas, kelompok Dinasti Abbasiyah melakukan propaganda yang mereka sebut sebagai usaha dakwah. Gerakan dakwah dimulai ketika Umar bin Abdul Aziz berkuasa (717-720 M). Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan adil. Ketenteraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan Dinasti Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan kegiatan di al-Humaymah.[2]
Pemimpin gerakan dakwah itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia kemudian digantikan oleh anaknya, Muhammad bin Ali. Ia memperluas gerakan Dinasti Abbasiyah dan menetapkan 3 kota sebagai pusat gerakan. Ketiga kota itu adalah Hamimah sebagai pusat perencanaan dan organisasi, Kufah sebagai kota penghubung dan tempat bertemunya kader-kader utusan dari al-Humaymah dan kader-kader propaganda dari Khurasan, dan Khurasan sebagai pusat untuk melakukan kegiatan propaganda. Muhammad bin Ali meninggal pada tahun 743 M dan digantikan oleh anaknya , Ibrahim al-Imam. Ia kemudian menunjuk seorang Khurasan sebagai panglima perangnya, yaitu Abu Muslim al-Khurasani.
Abu Muslim al-Khurasani adalah seorang pemuda yang menampakkan bakat kepemimpinan dan keberanian yang luar biasa. Padahal, pada waktu ditunjuk sebagai panglima oleh Ibrahim al-Imam, ia baru berusia 19 tahun. Ia mencapai sukses besar di Khurasan. Ia berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk. Pernah dalam sehari, ia berhasil mengumpulkan penduduk sekitar 60 desa disekitar Merv. Banyak tuan tanah di Persia (dihkan) yang mengikutinya. Bentuk-bentuk propaganda yang dilakukannya adalah menyebarkan informasi kepada masyarakat dengan mengatakan bahwa golongan Abbasiyah termasuk golongan ahlul bait. Disamping itu dia juga menyalakan api kebencian dan kemarahan terhadap Umayyah karena selalu melakukan intimidasi terhadap golongan ahlul bait. Kemudian terhadap orang-orang muslim non arab (mawali) isu yang disebarkannya adalah persamaan derajat, sehingga dari hari-kehari api kebencian umat Islam semakin menyala dan memanas. Ia kemudian berkampanye untuk memunculkan rasa kebersamaan di antara golongan Alawiyyin (keturunan Ali), golongan Syi’ah, dan orang-orang Persia untuk menentang Dinasti Umayyah yang telah menindas mereka. Abu Muslim al-Khurasani mengajak mereka bekerjasama dengan gerakan Abbasiyah untuk mengembalikan kekhalifahan kepada golongan Bani Hasyim, baik dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib maupun keturunan Ali bin Abi Thalib.
Sebelum Abu Muslim al-Khurasani diangkat sebagai panglima perang, gerakan dakwah dilakukan secara diam-diam. Hal itu dilakukan karena belum berani melawan Dinasti Umayyah secara terang-terangan. Setelah Abu Muslim al-Khurasani diagkat sebagai panglima, Ibrahim al-Imam mendorong Abu Muslim al-Khurasani untuk merebut Khurasan dan menyingkirkan orang-orang Arab yang mendukung Dinasti Umayyah pada tahun 747 M. Rencana ini diketahui oleh penguasa Dinasti Umayyah. Ibrahim al-Imam ditangkap dan dihukum mati oleh Khalifah Marwan II. Abu Muslim al-Khurasani menjadi panglima perangnya dan memimpin perlawanan di Khurasan.
Abu Muslim al-Khurasani segera memulai gerakannya. Dengan pandai, ia memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Qaisy dan suku Arab Yamani yang sudah berlangsung sejak zaman Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pada masa itu, orang-orang Yaman mendapat kedudukan baik di Khurasan. Hal itu disebabkan Gubernur Khurasan saat itu berasal dari suku Arab Yaman, yaitu As’ad bin Abdullah al-Qasri. Sementara itu, orang-orang Arab Qaisy disisihkan dari pemerintahan sehingga mereka tidak menyukai orang-orang Yaman. Sebaliknya, ketika Gubernur Khurasan dijabat oleh orang-orang Arab Qaisy, orang-orang Yaman disingkirkan.
Pada waktu Abu Muslim al-Khurasani memulai gerakannya, Gubernur Khurasan dijabat oleh Nasr bin Sayyar yang berasal dari suku Arab Qaisy. Abu Muslim al-Khurasani kemudian mendekati al-Kirmani, pemimpin suku Arab Yamani di Khurasan. Dengan siasat adu domba, Gubernur Nasr bin Sayyar berhasil dikalahkan. Dengan bantuan orang-orang Yaman pula, Abu Muslim al-Khurasani berhasil menduduki kota Merv dan Naisabur. Sehingga seluruh kekuatan Umayyah di selatan dapat dikuasainya.
Sementara itu, tentara Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Kahbata, seorang jenderal Abu Muslim al-Khurasani, maju ke sebelah barat. Ia didamping oleh Khalid bin Barmak, pendiri wangsa Barmakid. Mereka menyeberangi sungai Eufrat dan sampai ke medan Karbala, tempat Husain bin Ali gugur dalam pertempuran. Pertempuran dahsyat pun terjadi, Gubernur Dinasti Umayyah di Irak yang bernama Yazid berhasil dikalahkan. Namun, Kahtaba gugur dalam pertempuran itu. Komando diambil alih oleh Hasan bin Kahtaba. Tentara Dinasti Abbasiyah akhirnya berhasil menguasai Kufah.
Dibagian timur, tentara Dinasti Abbasiyah terus bergerak maju. Pada tahun 749 M, putra Khalifah Marwan dikalahkan Abu Ayun, seorang panglima Dinasti Abbasiyah. Khalifah Marwan II akhirnya memimpin langsung usaha terakhir untuk mempertahankan dinastinya. Ia mengerahkan 120.000 tentaranya dan menyeberangi Sungai Tigris serta maju menuju Zab Hulu atau Zab Besar. Tentara Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Abdullah ibn Muhammad. Tentara Dinasti Umayyah berhasil dikalahkan. Marwan II melarikan diri dari Damaskus ke Mesir, namun akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh oleh pasukan Abdullah ibn Muhammad. Dan Damaskus pun jatuh ke tangan Dinasti Abbasiyah.
Abu Abbas as-Saffah kemudian dibaiat sebagai khalifah di Masjid Kufah pada tahun 750 M. Menurut para ahli sejarah, perpindahan khalifah dari Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah bukan saja sekedar pergantian Dinasti, akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Kejadian itu merupakan revolusi dalam sejarah Islam, yaitu suatu titik balik yang sama pentingnya dengan Revolusi Prancis dan Revolusi Rusia dalam sejarah barat.
2.      Teori Revolusi Bani Abbasiyah
Untuk mencoba menerangkan dan menyederhanakan pemahaman tentang sebab-sebab kebangkitan daulat Bani Abbasiyah, para sejarawan telah menawarkan beberapa teori. Ada empat teori yang mencoba menerangkan tentang hakikat kebangkitan daulat Bani Abbasiyah.
Pertama, teori faksionalisme rasial atau teori pengelompokan kebangsaan. Teori ini mengatakan, daulat Bani Umayyah pada dasarnya adalah Kerajaan Arab yang mementingkan kepentingan orang-orang Arab saja, dan melalaikan kepentingan orang non Arab, walaupun orang-orang non Arab ini sudah memeluk islam, seperti orang Mawali dan Iran sebagai daerah Timur yang baru saja di taklukan Islam waktu itu. Atas perlakuan diskriminatif itu, orang-orang mawali merasa kecewa, dan Bergabung dengan orang-orang Bani Abbasiyah untuk kemudian menggalang kekuatan di wilayah Timur, menggulingkan pemerintahan Bani Umayyah.
Kedua, teori faksionalisme sectarian atau teori pengelompokan golongan atas dasar paham keagamaan. Teori ini menerangkan bahwa kaum Syi’ah selamanya adalah lawan dari Bani Umayyah yang di anggapnya telah merampas kekuasaan dari tangan Ali ibn Thalib. Menurut teori ini keberhasilan daulat Bani Abbasiyah juga menyerap  ajaran-ajaran kaum Khawarij. Jadi kebangkitan daulat Bani Abbasiyah akan dapat di pahami dengan  baik jika dilihat dari segi golongan-golongan penganut paham-paham keagamaan tersebut di atas.
Ketiga, teori faksionalisme kesukuan, pertentangan antara dua suku utama Arab yaitu suku atau kabilah Mudhariyah bagi orang-orang Arab sebelah Slatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Bani Umayyah di dukung  oleh salah satu dari suku besar ini. Jika yang satu mendukung seorang khaalifah, maka yang lain bertindak sebagai oposan. Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Bani Abbasiyah di Khurasan sebagai  modal territorial pertama bagi pemerintahanya adalah akibat dan hasil manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut. Dengan kata lain, kebangkitan Bani Abbasiyah akan dapat dipahami dengan baik jika dilihat dari segi pertentangan kedua suku tersebut.
Keempat, teori  yang menekankan kepada ketidak adilan ekonomi dan disparitas regiona. Teori ini mengatakan, orang Arab dari Syiria mendapat perlakuan khusus dan keuntungan  tertentu dari daulat Bani Umayyah denngan memperoleh keringanan pajak dan hak mengolah tanag yang baru di  taklukan, sedangkan orang Arab dari sebelah Timur, khususnya Irak yang tinggal di wilayah Khurasan, tidak memperoleh perlakuan seperti itu. Adanya diskriminatif ekonomi tersebut, menimbulkan kekecewaan dari Arab Utara dan bercita-cita unntuk menumbangkan daulat Bani Umayyah, oleh karena itu, menurut teori ini, kebangkitan Bani Abbasiyah akan dapat dipahami denggan baik, jika dilihat dari segi kepincang-pincangan kebijaksanaan ekonomi tersebut.[3]
Demikianlah empat teori revolusi bangkitnya Bani Abbasiyah, yang dapat meruntuhkan kedaulatan Bani Umayyah.
Revolusi yang di gerakkan oleh Bani Abasiyah tidak dilakukan secara spontan dan terburu-buru. Gerakan ini dilakukan secara bertahap selama kurun waktu 32 tahun.[4] Pemberontakan ini di rancang dengan strategi matang dan study analisan yang integral. Tahapan gerakan ini adalah secara rahasia dan terbuka. Gerakan terbuka berlangsung pada masa Ibrahim yang di dukung oleh Abu Muslim al-Khurasani.
Pada tahunn 747 M./129H.,gerakan Abbasiyah mulai terbuka dan merintis jalan kepada tindakan revolusi terhadap Bani Umayyah. Gerakan revolusi bermula dari meninggalnya Muhammad, dan di gantikan pleh anaknya, Ibrahim ibn Muhammmad. Ibrahim bergabung dengan Abu Salamah a-khallal, pemimpiin baru Kufah setelah meninggalnya Bukair ibn Mahan, bersama Abu Muslim al-Khurasani. Sebagai tahapan awal dalam gerakan revolusi ini, mereka melalilan propaganda di Merv dan seluruh wilayah kerajaan. Setiap tanda yanga dapat ditemukan dalam berbagai nubuwwah eskatologik pada saat itu dipergunakan untuk mengumumkan semakin dekatnya revolusi yang bakal terjadi itu. Bendera-bendera hitam sudah dinaikkan oleh para pemberontak yang pertama dan sudah mendapatkan makna mesianik. Revolusi yang akan terjadi itu disiarkan dengan memakai mana ar-rida min al-Muhammad (restu dari Muhammad).[5] Hal ini bertujuan agar gerakan ini dapat di terima oleh semua golongan baik Syi’ah, Khawarij, maupun golongan Mawali.
Terpilihnya Abu Muslim sebagai pemimpin revolusi pada fase terbuka ini di maksudkan untuk menarik semua umat muslim, baik dari kalangan Arab maupun bukan Arab. Abu Muslim mengibarkan panji-panji hitamnya di sebuah desa di Meru tahun 747 M./129 H. Dia mendapatkan dukungan sekitar 2200 orang dari alhu at-taqaddun, kemudian dalam waktu sebulan jumlah pasukan revolusioner yang di pimpinya berkembang menjadi 7000 orang.
Strategi yang di lakukan Abu Muslim dalam gerakan revolusi sangat tepat. Beliau bergabung dengan kelompok Mudar pimpinan Gubernur Khurasan, Nasr ibn Sayyar. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Abu Muslim dan kelompok Yaman, sehingga mereka dapat menguasai Merv dan wilayah lain dalam kerajaan itu, kemudian sampai ke daerah Kufah tahun750 M./132 H. yang di pimpin oleh Qatabah ibn Syahib. Setelah itu Abu Muslim memakai gelar Amir al-Muhammad, yang berarti otoritas beliau bukan sekedar gubernur wilayah Timur, karena beliau berhasil menguasai wilayah Timur sampai ke Barat, sedangkan Abu Salamah mendapat gelar Wazir al-Muhammad.[6]
Demikian gerakan revolusi berhasil dengan sukses, karena dilakukan dengan persiapan yang matang dan stategi yang tepat, sehingga dapat meruntuhlan Bani Umayyah dan membangun dinasti Bani Abbasiyah. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil,[7]



Bahwa alasan mengapa Bani Abbasiyah layak menang, yaitu :
1.      Pemberontakan tersebut dirancang dengan strategi yang matang dan studi analisa yang integral, artinya tidak terburu-buru (isti’jal).
2.      Pembrontakan tersebut terjadi pada saat negaa Bani Umayyah mulai terjangkit unsure-unsur kehancuran dan ketuaan hingga tidak bias diandalkan kembali dinamis seperti masa mudanya dulu.
Perjuangan Bani Abbasiyah muncul karena adanya ketidakpuasan dari golongan Bani Hasyim dan Bani Abbasiyah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Ketidakpuasan ini timbul dari adanya persaingan antar kedua golongan, yaitu golongan Bani Abbasiyah dan golongan Bani Umayyah. Persaingan ini mendorong kedua belah pihak untuk saling menumbangkan antara yang saty dengan yang lain. Menurut para ahli pertentangan antara golongan Hasyim (golongan Abbasiyah) dengan golongan Bani Umayyah sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yaitu nenek moyang dari golongan Hasyim dan golongan Umayyah. Jadi apabila saalah satu dari mereka berkuasa, maka akan menindas golongan yang dikuasai. Sseperti yang dilakukan Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah pada saat itu.
Perjuangan Bani Abbasiyah untuk menumbangkan Bani Umayyah dilakukan dengan rencana yang matang dan strategi yang mantap. Perjuangan ini dilakukandalam dua tahap yaitu tahap rahasia dan tahap terbuka.
3.      Faktot-faktor Penyebab Runtuhnya Bani Umayyah
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil. Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan berkelanjutan.

Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk, kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi'ah (pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali.

Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras dan tersebar luas. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum Mawali.. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya, yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.

Kerusuhan terus berlanjut hingga masa pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.

Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik, khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun 750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi dua bagian :
1.       Faktor internal ,yaitu berasal dari dalam istana sendiri antara lain :
a.        perselisihan antara keluarga khalifah
      Diantara para putra mahkota, yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk mengasingkan keluarga yang lain dan ingin menggantikan dengan anaknya sendiri. Sehingga sistem pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru bagi tradisi Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan  yang tidak sehat dikalangan anggota keluarga istana.
b.      Perilaku khalifah atau gubernur  jauh dari aturan islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh khalifah ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya ,bersuka ria dalam kemewahan , terutama pada masa khalifah yazid II naik tahta, ia terpikat oleh dua biduanitanya, Sallamah dan Habadah serta suka meminum minuman keras, ditambah lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mementingkan diri sendiri.

2.       Faktor eksternal istana ,adalah yang berasal dari luar istana
a.       Perlawanan dari kaum Khawarij
      Sejak dinasti Bani Umayyah berdiri, para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari golongan khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah telah melakukan dosa besar.  Perbedaan sudut pandang pro Ali dan Pro Muawiyah ini menjadikan khawarij mengangkat pemimpin dari kalangan mereka sendiri.
b.       Perlawanna dari kalangan Syi`ah
      Pada dasarnya kaum Syi`ah tidak pernah mengakui pemerintahan Dinasti bani Umayyah dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka  terhadap Ali dan Husain. Mereka berkumpul dengan orang-orang yang merasa tidak puas, baik dari sisi politik, ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan Bani Umayyah.


c.       Perlawanan dari golongan Mawali
       Asal mula kaum Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan kemudian istilah ini berkembang pada orang islam bukan arab. Ketika bani Umayyah berkuasa orang mawali dipandang sebagai masyarakat bawahan sehingga terbukalah jurang dan sekat sosial yang memisahkan. Mereka akhirnya bergabung dengan gerakan anti pemerintah yakni pihak Bani Abbasiyah dan Syi`ah.
d.      Pertentangan etnis Arab Utara dengan Arab Selatan.
      Pada masa Khalifah Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku arab utara (Arab Qaisy/Mudari) dan arab Selatan  (Arab Yamani) yang sejak zaman sebelum islam makin meruncing. Atas asumsi tersebut apabila seorang khalifah berasal atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri. Demikian sebaliknya, perselisihan tersebut  berimplikasi pada kesulitan Bani Umayyah menggalang persatuan.
e.       Perlawanan dari Bani Abbasiyah
      Keturunan dari paman Rasulullah, keluarga Abbas mulai bergerak aktif dan menegaskan mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik mereka bergabung dengan pendukung Ali dan menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan kekecewaan publik dan menampilkan sebagai pembelah sejati agama islam, para keturunan abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.
Faktor-faktor tersebut diatas merupakan sebab kemunduran yang membawa kepada kehancuran Dinasti Bani Umayyah, termasuk koalisi antara kaum syi`ah, Mawali dan Abbasiyah yang menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi pemerintahan dengan menumbang Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan pemeritahan baru.

Berakhirlah kekusaan Dinasti Bani Umayyah dikota damaskus yang dirintis Muawiyah ibn Sufyan kurang lebih 90 tahun lamanya dan ditutup oleh khalifah ke empat belas Marwan ibn Muhammad.



D.   Kesimpulan
Perjuangan Bani Abbasiyah muncul karena adanya ketidakpuasan dari golongan Bani Hasyim dan Bani Abbasiyah terhadap pemerintahan Bani Umayyah. Ketidakpuasan ini timbul dari adanya persaingan antar kedua golongan, yaitu golongan Bani Abbasiyah dan golongan Bani Umayyah. Persaingan ini mendorong kedua belah pihak untuk saling menumbangkan antara yang saty dengan yang lain. Menurut para ahli pertentangan antara golongan Hasyim (golongan Abbasiyah) dengan golongan Bani Umayyah sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yaitu nenek moyang dari golongan Hasyim dan golongan Umayyah. Jadi apabila saalah satu dari mereka berkuasa, maka akan menindas golongan yang dikuasai. Sseperti yang dilakukan Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah pada saat itu.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor external dari kerajaan.

E.     Dafar Pustaka

Karim Abdul M, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
M. A. Shaban, Sejarah Islam (penafsiran Baru), Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.
 Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, Jakarta, Pustaka al-Kautsar, 1995.
Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008
Wijdan, Aden Dkk. Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta, Safiria Insania Press, 2007


[1] Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2008 hlm. 67
[2] Karim Abdul M, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007 hlm. 87
[3] M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm. 86-88
[4] Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1995, hlm. 76
[5] M.A. Shaban, Sejarah Islam (penafsiran Baru), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm. 276
[6] Ibid
[7] Muhammad Sayyid al-Wakil, op. cit.,
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar