MAKALAH
REVOLUSI DAN PERJUANGAN BANI ABBASIYAH
DAN
FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB RUNTUHNYA BANI
UMAIYYAH
Di susun
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah SPI
Dengan dosen
pengampu Drs.
Abdul Wahhab M. Pd.I
Disusun oleh :
Muchammad Abdush S. NIM
: 113008
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM PATI
JURUSAN TARBIYAH
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2013
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Maju mundurnya peradaban islam tergantung
dari sejauh mana dinamika umat islam itu sendiri. Dalam sejarah islam tercatat,
bahwa salah satu dinamika umat islam itu dicirikan oleh kehadiran
kerajaan-kerajaan islam diantaranya Umayyah dan Abbasiyah. Umayyah dan
Abbasiyah memiliki peradaban yang tinggi, diantaranya memunculkan
ilmuwan-ilmuwan dan para pemikir muslim.
Berdiri dan terbentuknya Daulat Bani
Abbasiyah tidak bisa terlepas dari Umayyah, hal ini dikarenakan berdiri dan
terbentuknya Abbasiyah adalah setelah runtuhnya Umayyah pada tahun 750 M.
Dinamakan Dinasti Bani Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini
adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan
oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.
Kekuasaannya berlangsung selama lebih kurang 6 abad (132-656 H/750-1258M).
Pemerintahan dinasti Abbasiyah berhasil
didirikan setelah munculnya berbagai pemberontakan yang dilakukan oleh
keturunan al-Abbas dan para penentang lainnya terhadap kekuasaan dinasti
Umayyah di Damaskus. Ketidakberdayaan menghadapi pemberontakan massal yang
berkepanjangan menyebabkan tumbangnya dinasti Umayyah pada tahun 750 M/132 H
dengan dikalahkannya Khalifah Marwan II.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana Revolusi dan
perjuangan Bani Abbasiyah
2.
Apa saja Teori revolusi Bani Abbasiyah
3.
Apa
yang menjadi faktor-faktor penyebab runtuhnya Bani Umayyah
1.
Revolusi
dan Perjuangan Bani Abbasiyah
Dinasti
Abbasiyah yang berkuasa lebih kurang 6 abad (132-656 H/750-1258 M), didirikan
oleh Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas/Abu Abbas al-Saffah dibantu oleh Abu Muslim
AL-Khurasani, seorang jenderal muslim yang berasal dari Khurasan, Persia.
Gerakan-gerakan perlawanan untuk kekuasaan Dinasti Bani Umayyah sebenarnya
sudah dilakukan sejak masa-masa awal pemerintahan Dinasti Bani Umayyah, hanya
saja gerakan tersebut selalu digagalkan oleh kekuatan militer Bani Umayyah,
sehingga gerakan-gerakan kelompok penentang tidak dapat melancarkan serangannya
secara kuat. Tetapi di masa-masa akhir pemerintahan dinasti Bani Umayyah
gerakan tersebut semakin menguat seiring banyaknya protes dari masyarakat yang
merasa tidak puas atas kinerja dan berbagai kebijakan pemerintahan Dinasti Bani
Umayyah. Gerakan ini menemukan momentumnya ketika para tokoh dari Bani Hasyim
melancarkan serangannya.
Para tokoh tersebut antara lain Muhammad bin Ali, salah seorang
keluarga Abbas yang menjadikan kota Kufah sebagai pusat kegiatan perlawanan.
Gerakan Muhammad bin Ali ini mendapat dukungan dari kelompok Mawali yang selalu
ditempatkan sebagai masyarakat kelas dua. Selain itu, juga mendapat dukungan kuat dari kelompok
Syi’ah yang menuntut hak mereka atas kekuasaan yang pernah dirampas oleh
Dinasti Bani Umayyah. Akhirnya pada tahun 132 H/750 M, Marwan bin Muhammad
dapat dikalahkan dan akhirnya meninggal di Fustat, Mesir pada 132 H/750 M.
Sejak itu, secara resmi Dinasti Abbasiyah mulai berdiri.
Propaganda Abbasiyah dilaksanakan dengan dua tahap, yakni Pertama dilaksanakan
dengan sangat rahasia tanpa melibatkan pasukan perang, mereka berdakwah atas
nama Abbasiyah sambil berdagang mengunjungi tempat-tempat yang jauh, dan dalam
kesempatan menunaikan Haji di Mekkah. Kedua, menggabungkan para pengikut
Abu Muslim al-Khurasan dengan pengikut Abbasiyah.
Propaganda-propaganda tersebut sukses membakar
semangat api kebencian umat Islam kepada Dinasti Bani Umayyah. Langkah pertama
memperoleh sukses besar melalui propaganda-propaganda yang dilakukan oleh Abu
Muslim al-Khurasan dengan cara menyatakan bahwa al-Abbas adalah ahli
al-Ba’it, sehingga lebih berhak menjadi Khalifah dan menyebarkan kebencian
dan kemarahan terhadap Dinasti Bani Umayyah, dan mengembangkan ide-ide
persamaan antara orang-orang Arab dengan non Arab karena objek propaganda Abu
Muslim tersebut adalah wilayah Khurasan yang notabene merupakan basis
kelompok Mawali.
Propaganda dengan cara menghasut dan menyombongkan
diri (membangga-bangkan kelompoknya sendiri) yang dilakukan oleh Bani Abbas
sangat bertentangan dengan politik Islam dalam al-Qur’an surat al-Qashash ayat
83 dikatakan :
Artinya : “Negeri akhirat itu, kami jadikan
untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di
(muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang
bertakwa”.
Setelah Muhammad Ibn Ali meninggal tahun 743 M,
perjuangan dilanjutkan oleh saudaranya Muhammad Ibn Ibrahim sampai tahun 749 M.
Dari ketiga tokoh propaganda tesebut Abu Muslim Al
Khurasani merupakan propagandis yang paling sukses dan terkenal.
1. Menerapkan
politik bersahabat, artinya keturunan Bani Abbas tidak memperlihatkan sikap
bermusuhan dengan Bani Umayyah atau siapapun.
2. Menggunakan
nama Bani Hasyim (Ahlul Bait). Hal ini dimaksudkan agar mendapat simpati umat
dan dukungan dari kelompok pendukung Ali (Syiah).
3. Menjadikan
Khurasan sebagai pusat kegiatan gerakan Bani Abbas yang dipimpin oleh Abu
Muslim Al-Khurasani.
Strategi
ini ternyata berhasil menghimpun kekuatan besar dan dahsyat yang tidak bisa
dibendung lagi oleh golongan manapun juga. Dalam perjuangannya untuk mendirikan
Dinasti Abbasiyah, para tokoh pendiri Dinasti ini menerapkan cara kepemimpinan
yang bersifat kolektif (kolegial leadership),namun tertutup dengan
gerakan bawah tanah. Para tokoh pendiri Dinasti Abbasiyah menetapkan tiga kota
sebagai pusat kegiatan, yaitu Humimah sebagai pusat perencanaan
organisasi, Kufah sebagai kota penghubung dan Khurasan sebagai
pusat gerakan praktis.[1]
Untuk
melaksanakan propaganda tersebut, mereka mengangkat 12 orang propagandis
terkenal yang tersebar di berbagai daerah, seperti di Khurasan, Kufah, Irak,
Mekah dan beberapa tempat strategis lainnya. Di antara isu yang dikembangkan
dalam propaganda tersebut adalah masalah keadilan yang selama itu diterapkan
oleh pemerintahan pusat Dinasti Bani Umayyah yang bermarkas di Damaskus.
Semua keadaan diatas menjadi permasalahan yang sulit dipecahkan
oleh pemerintahan Dinasti Umayyah. Sekitar awal abad ke-8 (720 M), kebencian
terhadap pemerintahan Dinasti Umayyah telah tersebar luas. Kelompok-kelompok
yang merasa tidak puas bermunculan. Kelompok-kelompok itu adalah :
1.
Kelompok
muslim non-Arab (mawali) yang memprotes kedudukan mereka sebagai warga kelas
dua dibawah muslim Arab.
2.
Kelompok
Khawarij dan Syi’ah yang menganggap Dinasti Umayyah sebagai perampas khilafah.
3.
Kelompok
muslim Arab di Mekah, Madinah, dan Irak yang merasa sakit hati atas status
istimewa penduduk Suriah.
4.
Kelompok
muslim yang saleh, baik Arab maupun non-Arab yang memandang Dinasti Umayyah
telah bergaya hidup mewah dan jauh dari jalan hidup Islami.
kelompok tersebut membentuk suatu kelompok gabungan yang
dikoordinasi oleh keturunan al-Abbas, paman Nabi Muhammad SAW. Untuk mencari
dukungan masyarakat luas, kelompok Dinasti Abbasiyah melakukan propaganda yang
mereka sebut sebagai usaha dakwah. Gerakan dakwah dimulai ketika Umar bin Abdul
Aziz berkuasa (717-720 M). Umar bin Abdul Aziz memimpin dengan adil.
Ketenteraman dan stabilitas negara memberi kesempatan kepada gerakan Dinasti
Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan kegiatan di al-Humaymah.[2]
Pemimpin gerakan dakwah itu adalah Ali bin Abdullah bin Abbas. Dia
kemudian digantikan oleh anaknya, Muhammad bin Ali. Ia memperluas gerakan
Dinasti Abbasiyah dan menetapkan 3 kota sebagai pusat gerakan. Ketiga kota itu
adalah Hamimah sebagai pusat
perencanaan dan organisasi, Kufah
sebagai kota penghubung dan tempat bertemunya kader-kader utusan dari
al-Humaymah dan kader-kader propaganda dari Khurasan, dan Khurasan sebagai pusat untuk melakukan kegiatan propaganda.
Muhammad bin Ali meninggal pada tahun 743 M dan digantikan oleh anaknya ,
Ibrahim al-Imam. Ia kemudian menunjuk seorang Khurasan sebagai panglima
perangnya, yaitu Abu Muslim al-Khurasani.
Abu Muslim al-Khurasani adalah seorang pemuda yang menampakkan
bakat kepemimpinan dan keberanian yang luar biasa. Padahal, pada waktu ditunjuk
sebagai panglima oleh Ibrahim al-Imam, ia baru berusia 19 tahun. Ia mencapai
sukses besar di Khurasan. Ia berhasil menarik simpati sebagian besar penduduk.
Pernah dalam sehari, ia berhasil mengumpulkan penduduk sekitar 60 desa
disekitar Merv. Banyak tuan tanah di Persia (dihkan) yang mengikutinya. Bentuk-bentuk
propaganda yang dilakukannya adalah menyebarkan informasi kepada masyarakat
dengan mengatakan bahwa golongan Abbasiyah termasuk golongan ahlul bait.
Disamping itu dia juga menyalakan api kebencian dan kemarahan terhadap Umayyah
karena selalu melakukan intimidasi terhadap golongan ahlul bait. Kemudian
terhadap orang-orang muslim non arab
(mawali) isu yang disebarkannya adalah persamaan derajat, sehingga dari
hari-kehari api kebencian umat Islam semakin menyala dan
memanas. Ia kemudian
berkampanye untuk memunculkan rasa kebersamaan di antara golongan Alawiyyin
(keturunan Ali), golongan Syi’ah, dan orang-orang Persia untuk menentang
Dinasti Umayyah yang telah menindas mereka. Abu Muslim al-Khurasani mengajak
mereka bekerjasama dengan gerakan Abbasiyah untuk mengembalikan kekhalifahan
kepada golongan Bani Hasyim, baik dari keturunan Abbas bin Abdul Muthalib
maupun keturunan Ali bin Abi Thalib.
Sebelum Abu Muslim al-Khurasani diangkat sebagai panglima perang,
gerakan dakwah dilakukan secara diam-diam. Hal itu dilakukan karena belum
berani melawan Dinasti Umayyah secara terang-terangan. Setelah Abu Muslim
al-Khurasani diagkat sebagai panglima, Ibrahim al-Imam mendorong Abu Muslim
al-Khurasani untuk merebut Khurasan dan menyingkirkan orang-orang Arab yang
mendukung Dinasti Umayyah pada tahun 747 M. Rencana ini diketahui oleh penguasa
Dinasti Umayyah. Ibrahim al-Imam ditangkap dan dihukum mati oleh Khalifah
Marwan II. Abu Muslim al-Khurasani menjadi panglima perangnya dan memimpin
perlawanan di Khurasan.
Abu Muslim al-Khurasani segera memulai gerakannya. Dengan pandai,
ia memanfaatkan pertentangan antara suku Arab Qaisy dan suku Arab Yamani yang
sudah berlangsung sejak zaman Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pada masa itu,
orang-orang Yaman mendapat kedudukan baik di Khurasan. Hal itu disebabkan
Gubernur Khurasan saat itu berasal dari suku Arab Yaman, yaitu As’ad bin
Abdullah al-Qasri. Sementara itu, orang-orang Arab Qaisy disisihkan dari
pemerintahan sehingga mereka tidak menyukai orang-orang Yaman. Sebaliknya, ketika
Gubernur Khurasan dijabat oleh orang-orang Arab Qaisy, orang-orang Yaman
disingkirkan.
Pada waktu Abu Muslim al-Khurasani memulai gerakannya, Gubernur
Khurasan dijabat oleh Nasr bin Sayyar yang berasal dari suku Arab Qaisy. Abu
Muslim al-Khurasani kemudian mendekati al-Kirmani, pemimpin suku Arab Yamani di
Khurasan. Dengan siasat adu domba, Gubernur Nasr bin Sayyar berhasil
dikalahkan. Dengan bantuan orang-orang Yaman pula, Abu Muslim al-Khurasani
berhasil menduduki kota Merv dan Naisabur. Sehingga
seluruh kekuatan Umayyah di selatan dapat dikuasainya.
Sementara itu, tentara Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh
Kahbata, seorang jenderal Abu Muslim al-Khurasani, maju ke sebelah barat. Ia
didamping oleh Khalid bin Barmak, pendiri wangsa Barmakid. Mereka menyeberangi
sungai Eufrat dan sampai ke medan Karbala, tempat Husain bin Ali gugur dalam pertempuran.
Pertempuran dahsyat pun terjadi, Gubernur Dinasti Umayyah di Irak yang bernama
Yazid berhasil dikalahkan. Namun, Kahtaba gugur dalam pertempuran itu. Komando
diambil alih oleh Hasan bin Kahtaba. Tentara Dinasti Abbasiyah akhirnya
berhasil menguasai Kufah.
Dibagian timur, tentara Dinasti Abbasiyah terus bergerak maju. Pada
tahun 749 M, putra Khalifah Marwan dikalahkan Abu Ayun, seorang panglima
Dinasti Abbasiyah. Khalifah Marwan II akhirnya memimpin langsung usaha terakhir
untuk mempertahankan dinastinya. Ia mengerahkan 120.000 tentaranya dan
menyeberangi Sungai Tigris serta maju menuju Zab Hulu atau Zab Besar. Tentara
Dinasti Abbasiyah dipimpin oleh Abdullah ibn Muhammad. Tentara Dinasti Umayyah
berhasil dikalahkan. Marwan II melarikan diri dari Damaskus ke Mesir, namun
akhirnya dapat ditangkap dan dibunuh oleh pasukan Abdullah ibn Muhammad. Dan
Damaskus pun jatuh ke tangan Dinasti Abbasiyah.
Abu Abbas as-Saffah kemudian dibaiat sebagai khalifah di Masjid
Kufah pada tahun 750 M. Menurut para ahli sejarah, perpindahan khalifah dari
Dinasti Umayyah kepada Dinasti Abbasiyah bukan saja sekedar pergantian Dinasti,
akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi.
Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu
revolusi. Kejadian itu merupakan revolusi dalam sejarah Islam, yaitu suatu
titik balik yang sama pentingnya dengan Revolusi Prancis dan Revolusi Rusia
dalam sejarah barat.
2.
Teori
Revolusi Bani Abbasiyah
Untuk mencoba menerangkan dan menyederhanakan pemahaman tentang
sebab-sebab kebangkitan daulat Bani Abbasiyah, para sejarawan telah menawarkan
beberapa teori. Ada empat teori yang mencoba menerangkan tentang hakikat
kebangkitan daulat Bani Abbasiyah.
Pertama, teori faksionalisme rasial atau teori pengelompokan
kebangsaan. Teori ini mengatakan, daulat Bani Umayyah pada dasarnya adalah
Kerajaan Arab yang mementingkan kepentingan orang-orang Arab saja, dan
melalaikan kepentingan orang non Arab, walaupun orang-orang non Arab ini sudah
memeluk islam, seperti orang Mawali dan Iran sebagai daerah Timur yang baru
saja di taklukan Islam waktu itu. Atas perlakuan diskriminatif itu, orang-orang
mawali merasa kecewa, dan Bergabung dengan orang-orang Bani Abbasiyah untuk
kemudian menggalang kekuatan di wilayah Timur, menggulingkan pemerintahan Bani
Umayyah.
Kedua, teori faksionalisme sectarian atau teori pengelompokan
golongan atas dasar paham keagamaan. Teori ini menerangkan bahwa kaum Syi’ah
selamanya adalah lawan dari Bani Umayyah yang di anggapnya telah merampas
kekuasaan dari tangan Ali ibn Thalib. Menurut teori ini keberhasilan daulat
Bani Abbasiyah juga menyerap
ajaran-ajaran kaum Khawarij. Jadi kebangkitan daulat Bani Abbasiyah akan
dapat di pahami dengan baik jika dilihat
dari segi golongan-golongan penganut paham-paham keagamaan tersebut di atas.
Ketiga, teori faksionalisme kesukuan, pertentangan antara dua suku
utama Arab yaitu suku atau kabilah Mudhariyah bagi orang-orang Arab sebelah
Slatan. Menurut teori ini, setiap khalifah dari Bani Umayyah di dukung oleh salah satu dari suku besar ini. Jika
yang satu mendukung seorang khaalifah, maka yang lain bertindak sebagai oposan.
Teori ini mengatakan bahwa kemenangan Bani Abbasiyah di Khurasan sebagai modal territorial pertama bagi pemerintahanya
adalah akibat dan hasil manipulasi atas pertentangan dua suku tersebut. Dengan
kata lain, kebangkitan Bani Abbasiyah akan dapat dipahami dengan baik jika
dilihat dari segi pertentangan kedua suku tersebut.
Keempat, teori yang menekankan kepada
ketidak adilan ekonomi dan disparitas regiona. Teori ini mengatakan, orang Arab
dari Syiria mendapat perlakuan khusus dan keuntungan tertentu dari daulat Bani Umayyah denngan
memperoleh keringanan pajak dan hak mengolah tanag yang baru di taklukan, sedangkan orang Arab dari sebelah
Timur, khususnya Irak yang tinggal di wilayah Khurasan, tidak memperoleh perlakuan
seperti itu. Adanya diskriminatif ekonomi tersebut, menimbulkan kekecewaan dari
Arab Utara dan bercita-cita unntuk menumbangkan daulat Bani Umayyah, oleh
karena itu, menurut teori ini, kebangkitan Bani Abbasiyah akan dapat dipahami
denggan baik, jika dilihat dari segi kepincang-pincangan kebijaksanaan ekonomi
tersebut.[3]
Demikianlah
empat teori revolusi bangkitnya Bani Abbasiyah, yang dapat meruntuhkan
kedaulatan Bani Umayyah.
Revolusi yang di gerakkan oleh Bani Abasiyah tidak dilakukan secara
spontan dan terburu-buru. Gerakan ini dilakukan secara bertahap selama kurun
waktu 32 tahun.[4] Pemberontakan ini di rancang dengan strategi matang dan study
analisan yang integral. Tahapan gerakan ini adalah secara rahasia dan terbuka.
Gerakan terbuka berlangsung pada masa Ibrahim yang di dukung oleh Abu Muslim
al-Khurasani.
Pada tahunn 747 M./129H.,gerakan Abbasiyah mulai terbuka dan
merintis jalan kepada tindakan revolusi terhadap Bani Umayyah. Gerakan revolusi
bermula dari meninggalnya Muhammad, dan di gantikan pleh anaknya, Ibrahim ibn
Muhammmad. Ibrahim bergabung dengan Abu Salamah a-khallal, pemimpiin baru Kufah
setelah meninggalnya Bukair ibn Mahan, bersama Abu Muslim al-Khurasani. Sebagai
tahapan awal dalam gerakan revolusi ini, mereka melalilan propaganda di Merv
dan seluruh wilayah kerajaan. Setiap tanda yanga dapat ditemukan dalam berbagai
nubuwwah eskatologik pada saat itu dipergunakan untuk mengumumkan
semakin dekatnya revolusi yang bakal terjadi itu. Bendera-bendera hitam sudah
dinaikkan oleh para pemberontak yang pertama dan sudah mendapatkan makna
mesianik. Revolusi yang akan terjadi itu disiarkan dengan memakai mana ar-rida
min al-Muhammad (restu dari Muhammad).[5] Hal ini bertujuan agar gerakan ini dapat di terima oleh semua
golongan baik Syi’ah, Khawarij, maupun golongan Mawali.
Terpilihnya Abu Muslim sebagai pemimpin revolusi pada fase terbuka
ini di maksudkan untuk menarik semua umat muslim, baik dari kalangan Arab
maupun bukan Arab. Abu Muslim mengibarkan panji-panji hitamnya di sebuah desa
di Meru tahun 747 M./129 H. Dia mendapatkan dukungan sekitar 2200 orang dari alhu
at-taqaddun, kemudian dalam waktu sebulan jumlah pasukan revolusioner yang
di pimpinya berkembang menjadi 7000 orang.
Strategi yang di lakukan Abu Muslim dalam gerakan revolusi sangat
tepat. Beliau bergabung dengan kelompok Mudar pimpinan Gubernur Khurasan, Nasr
ibn Sayyar. Pertarungan tersebut akhirnya dimenangkan oleh Abu Muslim dan
kelompok Yaman, sehingga mereka dapat menguasai Merv dan wilayah lain dalam
kerajaan itu, kemudian sampai ke daerah Kufah tahun750 M./132 H. yang di pimpin
oleh Qatabah ibn Syahib. Setelah itu Abu Muslim memakai gelar Amir al-Muhammad,
yang berarti otoritas beliau bukan sekedar gubernur wilayah Timur, karena
beliau berhasil menguasai wilayah Timur sampai ke Barat, sedangkan Abu Salamah
mendapat gelar Wazir al-Muhammad.[6]
Demikian gerakan revolusi berhasil dengan sukses, karena dilakukan
dengan persiapan yang matang dan stategi yang tepat, sehingga dapat meruntuhlan
Bani Umayyah dan membangun dinasti Bani Abbasiyah. Sebagaimana diungkapkan oleh
Dr. Muhammad Sayyid al-Wakil,[7]
Bahwa alasan mengapa Bani Abbasiyah layak menang, yaitu :
1.
Pemberontakan
tersebut dirancang dengan strategi yang matang dan studi analisa yang integral,
artinya tidak terburu-buru (isti’jal).
2.
Pembrontakan
tersebut terjadi pada saat negaa Bani Umayyah mulai terjangkit unsure-unsur
kehancuran dan ketuaan hingga tidak bias diandalkan kembali dinamis seperti
masa mudanya dulu.
Perjuangan Bani Abbasiyah muncul karena adanya ketidakpuasan dari
golongan Bani Hasyim dan Bani Abbasiyah terhadap pemerintahan Bani Umayyah.
Ketidakpuasan ini timbul dari adanya persaingan antar kedua golongan, yaitu
golongan Bani Abbasiyah dan golongan Bani Umayyah. Persaingan ini mendorong
kedua belah pihak untuk saling menumbangkan antara yang saty dengan yang lain.
Menurut para ahli pertentangan antara golongan Hasyim (golongan Abbasiyah)
dengan golongan Bani Umayyah sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yaitu nenek
moyang dari golongan Hasyim dan golongan Umayyah. Jadi apabila saalah satu dari
mereka berkuasa, maka akan menindas golongan yang dikuasai. Sseperti yang
dilakukan Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah pada saat itu.
Perjuangan Bani Abbasiyah untuk menumbangkan Bani Umayyah dilakukan
dengan rencana yang matang dan strategi yang mantap. Perjuangan ini
dilakukandalam dua tahap yaitu tahap rahasia dan tahap terbuka.
3.
Faktot-faktor Penyebab Runtuhnya Bani Umayyah
Meskipun keberhasilan banyak dicapai dinasti
ini, namun tidak berarti bahwa politik dalam negeri dapat dianggap stabil.
Muawiyah tidak mentaati isi perjanjiannya dengan Hasan ibn Ali ketika dia naik
tahta, yang menyebutkan bahwa persoalan penggantian pemimpin setelah Muawiyah
diserahkan kepada pemilihan umat Islam. Deklarasi pengangkatan anaknya Yazid
sebagai putera mahkota menyebabkan munculnya gerakan-gerakan oposisi di
kalangan rakyat yang mengakibatkan terjadinya perang saudara beberapa kali dan
berkelanjutan.
Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh
terkemuka di Madinah tidak mau menyatakan setia kepadanya. Yazid kemudian
mengirim surat kepada gubernur Madinah, memintanya untuk memaksa penduduk
mengambil sumpah setia kepadanya. Dengan cara ini, semua orang terpaksa tunduk,
kecuali Husein ibn Ali dan Abdulah ibn Zubair. Bersamaan dengan itu, Syi'ah
(pengikut Ali) melakukan konsolidasi (penggabungan) kekuatan kembali.
Perlawanan orang-orang Syi'ah tidak padam
dengan terbunuhnya Husein. Gerakan mereka bahkan menjadi lebih keras dan
tersebar luas. Yang termashur diantaranya adalah pemberontakan Mukhtar di Kufah
pada tahun 685-687 M. Mukhtar mendapat banyak pengikut dari kalangan kaum
Mawali.. Mukhtar terbunuh dalam peperangan melawan gerakan oposisi lainnya,
yaitu gerakan Abdullah ibn Zubair.
Kerusuhan terus berlanjut hingga masa
pemerintahan Khalifah berikutnya, Hisyam ibn Abd al-Malik (724-743 M). Bahkan
di zaman Hisyam ini muncul satu kekuatan baru yang menjadi tantangan berat bagi
pemerintahan Bani Umayyah. Kekuatan itu berasal dari kalangan Bani Hasyim yang
didukung oleh golongan mawali dan merupakan ancaman yang sangat serius. Dalam
perkembangan berikutnya kekuatan baru ini, mampu menggulingkan dinasti Umawiyah
dan menggantikannya dengan dinasti baru, Bani Abbas. Sebenarnya Hisyam ibn Abd
al-Malik adalah seorang khalifah yang kuat dan terampil. Akan tetapi, karena
gerakan oposisi terlalu kuat khalifah tidak berdaya mematahkannya.
Sepeninggal Hisyam ibn Abd al-Malik,
khalifah-khalifah Bani Umayyah yang tampil bukan hanya lemah tetapi juga
bermoral buruk. Hal ini makin memperkuat golongan oposisi. Akhirnya, pada tahun
750 M, Daulat Umayyah digulingkan Bani Abbas yang bersekutu dengan Abu Muslim
al-Khurasani. Marwan bin Muhammad, khalifah terakhir Bani Umayyah, melarikan
diri ke Mesir, ditangkap dan dibunuh di sana.
Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran dan
kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi dua bagian :
1.
Faktor internal ,yaitu berasal dari dalam
istana sendiri antara lain :
a.
perselisihan
antara keluarga khalifah
Diantara
para putra mahkota, yang pertama telah memegang maka ia berusaha untuk
mengasingkan keluarga yang lain dan ingin menggantikan dengan anaknya sendiri.
Sehingga sistem pergantian khalifah dari garis keturunan adalah suatu yang baru
bagi tradisi Arab. Yang mengakibatkan terjadinya persaingan yang tidak
sehat dikalangan anggota keluarga istana.
b.
Perilaku khalifah atau gubernur jauh dari
aturan islam
Kekayaan Bani Umayyah disalah gunakan oleh
khalifah ataupun gubernur untuk hidup berfoya-foya ,bersuka ria dalam kemewahan
, terutama pada masa khalifah yazid II naik tahta, ia terpikat oleh dua
biduanitanya, Sallamah dan Habadah serta suka meminum minuman keras, ditambah
lagi para wazir dan panglima bani Umayyah sudah mulai korup dan mementingkan
diri sendiri.
2.
Faktor eksternal istana ,adalah yang berasal
dari luar istana
a.
Perlawanan dari kaum Khawarij
Sejak
dinasti Bani Umayyah berdiri, para khalifahnya sering menghadapi tantangan dari
golongan khawarij. Golongan ini memandang bahwa Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah
telah melakukan dosa besar. Perbedaan
sudut pandang pro Ali dan Pro Muawiyah ini menjadikan khawarij mengangkat
pemimpin dari kalangan mereka sendiri.
b.
Perlawanna dari kalangan Syi`ah
Pada
dasarnya kaum Syi`ah tidak pernah mengakui pemerintahan Dinasti bani Umayyah
dan tidak pernah memaafkan kesalahan mereka terhadap Ali dan Husain.
Mereka berkumpul dengan orang-orang yang merasa tidak puas, baik dari sisi
politik, ekonomi maupun sosial terhadap pemerintahan Bani Umayyah.
c.
Perlawanan dari golongan Mawali
Asal
mula kaum Mawali yaitu budak-budak tawanan perang yang telah dimerdekakan
kemudian istilah ini berkembang pada orang islam bukan arab. Ketika bani
Umayyah berkuasa orang mawali dipandang sebagai masyarakat bawahan sehingga
terbukalah jurang dan sekat sosial yang memisahkan. Mereka akhirnya bergabung
dengan gerakan anti pemerintah yakni pihak Bani Abbasiyah dan Syi`ah.
d.
Pertentangan etnis Arab Utara dengan Arab
Selatan.
Pada
masa Khalifah Bani Umayyah, pertentangan etnis antara suku arab utara (Arab
Qaisy/Mudari) dan arab Selatan (Arab Yamani) yang sejak zaman sebelum
islam makin meruncing. Atas asumsi tersebut apabila seorang khalifah berasal
atau lebih dekat dengan Arab Selatan, Arab Utara akan iri. Demikian sebaliknya,
perselisihan tersebut berimplikasi pada kesulitan Bani Umayyah menggalang
persatuan.
e.
Perlawanan dari Bani Abbasiyah
Keturunan
dari paman Rasulullah, keluarga Abbas mulai bergerak aktif dan menegaskan
mereka untuk menduduki pemerintahan. Dengan cerdik mereka bergabung dengan
pendukung Ali dan menekankan hak keluarga Hasyim. Dengan memanfaatkan
kekecewaan publik dan menampilkan sebagai pembelah sejati agama islam, para
keturunan abbas segera menjadi pemimpin gerakan anti Umayyah.
Faktor-faktor
tersebut diatas merupakan sebab kemunduran yang membawa kepada kehancuran
Dinasti Bani Umayyah, termasuk koalisi antara kaum syi`ah, Mawali dan Abbasiyah
yang menyusun kekuatan dalam melakukan agresi gerakan revolusi pemerintahan
dengan menumbang Dinasti Bani Umayyah dan bertujuan menciptakan pemeritahan
baru.
Berakhirlah
kekusaan Dinasti Bani Umayyah dikota damaskus yang dirintis Muawiyah ibn Sufyan
kurang lebih 90 tahun lamanya dan ditutup oleh khalifah ke empat belas Marwan
ibn Muhammad.
D.
Kesimpulan
Perjuangan Bani Abbasiyah muncul karena adanya ketidakpuasan dari
golongan Bani Hasyim dan Bani Abbasiyah terhadap pemerintahan Bani Umayyah.
Ketidakpuasan ini timbul dari adanya persaingan antar kedua golongan, yaitu
golongan Bani Abbasiyah dan golongan Bani Umayyah. Persaingan ini mendorong
kedua belah pihak untuk saling menumbangkan antara yang saty dengan yang lain.
Menurut para ahli pertentangan antara golongan Hasyim (golongan Abbasiyah)
dengan golongan Bani Umayyah sudah ada sejak zaman Jahiliyah, yaitu nenek
moyang dari golongan Hasyim dan golongan Umayyah. Jadi apabila saalah satu dari
mereka berkuasa, maka akan menindas golongan yang dikuasai. Sseperti yang
dilakukan Bani Umayyah kepada Bani Abbasiyah pada saat itu.
Faktor-faktor
yang menyebabkan kemunduran dan kehancuran Bani Umayyah diklasifikasi menjadi
dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor external dari kerajaan.
E.
Dafar Pustaka
Karim Abdul M, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book
Publisher, 2007.
M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
M. A. Shaban, Sejarah Islam (penafsiran Baru),
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 1993.
Muhammad
Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, Jakarta, Pustaka al-Kautsar,
1995.
Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban
Islam, Bandung, Pustaka Setia, 2008
Wijdan,
Aden Dkk. Pemikiran Dan Peradaban Islam. Yogyakarta, Safiria Insania Press,
2007
[1] Supriadi, Dedi, MM.Ag. Sejarah Peradaban Islam,
Bandung: Pustaka Setia, 2008 hlm. 67
[2]
Karim Abdul M, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Yogyakarta, Pustaka Book
Publisher, 2007 hlm. 87
[3] M.
Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1998, hlm.
86-88
[4]
Muhammad Sayyid al-Wakil, Wajah Dunia Islam, Pustaka al-Kautsar, Jakarta, 1995,
hlm. 76
[5]
M.A. Shaban, Sejarah Islam (penafsiran Baru), Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1993, hlm. 276
[6]
Ibid
[7]
Muhammad Sayyid al-Wakil, op. cit.,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar